Oh iya..meski demikian tak selintas pun raut wajah seperti orang yang sedang memikul beban teramat berat kau lihat dari ina. Tidak akan kau dapatkan…entah dalam batinnya. Mungkin sudah resisten dengan kelas kehidupan marjinal turun temurun itu. Umurnya yang seharusnya sudah khatam kali2an “rumit” untuk sd kelas 3 tak membuatnya malu untuk belajar dalam sebuah sanggar belajar independen di seputaran Tamalanrea. Mungkin juga ia memang sudah tidak peduli. Tidak mau ambil pusing dengan penilaian orang. Ia sepertinya sedang mengajarkan teori sosial pada kita. Bahwa umur, profesi, dan strata sosial itu tidak linier ato tidak punya korelasi dengan minat dan semangat belajar seseorang. Tidak usah pusing ato peduli dengan kata2 orang…begitu kira2 dalam pikirannya. Toh untuk apa peduli? Bagi dia kepedulian adalah bagaimana ia dan dua adiknya yang masih balita itu bisa berbagi makan dari uang hasil mengemisnya dijalanan. Minatnya telah terbang dan hanya dipersembahkan pada pagi, sore, malam dan jam 4 dini hari ketika ia pulang ato tidur di emperan toko dan teras musholla pertamina di pintu dua unhas itu sehabis ngemis…cuma itu.Huh…
Penguasa? jangan tanya tentang penguasa. Ketidakberadaanya lebih menarik untuk dibicarakan ketimbang keberadaannya yang hidup segan mati pun tak mau alias setengah mati, kembang kempis, tak ada gunanya ! bukan begitu ina?…eh..ina..ina..aih kau memang tak peduli. Semoga mimpi indah kalo begitu….yah setidaknya dalam mimpi nasibmu bisa bagus. (ending)
Makassar, 24/3/2010)